Sahabat di Ujung Gang
Premis: Rina, sudah lama tidak bertemu dengan Dian yang kini sudah menjadi juragan batik. Rina kaget, karena Dian berpenampilan modis dan menarik. Rina pun iri, padahal, ia juga sukses menjadi seorang freelance writer yang kerjaannya tidak kentara.
Rina:
Wajahnya bulat, badannya gemuk. Ia suka kerja tidak terlihat, dan lebih suka mendekam di bilik rumah, kecuali kalau sudah kehabisan ide. Rina, ia masih belum mau menikah, dan sukanya kerja rodi.
Dian:
Seorang wanita yang bertubuh langsing dan pantat besar. Ia sebenarnya gampang gemuk, cuman karena sering menjaga pola makan, dan suka berolahraga. Ia suka kerjaan di rumah juga, menjahit, kadang ke toko butiknya.
Sahabat di Ujung Gang
Mentari, kian merangsak naik. Suhu panasnya seakan membakar ubun-ubun. Di ujung jalan, seorang lelaki mematung. Berdiri tegak layaknya tiang listrik yang sibuk dengan tali-tali kabel, dan tidak mau bergerak karena takut kabelnya berantahkan.
Lelaki itu masih saja menatap diriku yang sibuk dengan tali sepatu terlepas. Aku heran, kenapa ada yang mengamatiku seperti itu ya? Kenalkan, namaku Rina. Memang hobiku aneh, siang-siang olahraga. Namun kali ini aku terjebak di antara keheranan dan tali sepatu yang tidak mau menyatu dengan yang lain.
Tubuh laki-laki itu ramping, rambutnya jelas pendek. Ia mungkin heran karena lihat aku yang jalan-jalan di siang bolong, akan tetapi, aku lebih heran lagi. Kenapa ada makhluk bertubuh manusia yang tidak berkedip melihatku, apa dia mengenaliku?
Celana jeans yang bagus. Warna biru. Dipadukan dengan kaos berlengan panjang warna merah langsat. Ia menarik juga ya, bagus pakaiannya, serasi. Namun aku masih kesal, kenapa ia bersikap seperti itu?
Aku yang sibuk membenarkan tali sepatu, dihampirinya.
“Apa bisa aku bantu?”
“Aku mau pulang ke gang ini, tapi kenapa tali sepatu ini sulit untuk dibetulkan kembali.” Aku mengeluh, dengan perlahan mendongakkan kepala yang sedari tadi membungkuk.
“Loh Dian? Kamu kok jadi tomboy tapi necis?” seru ku kaget.
“Kenapa kamu yang jadi lusuh kayak gini sih Rina?”
Keduanya, saling berpelukan. Dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu karena sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Kamu tidak tahu ya? Aku kan sekarang tukang jahit, malu lah sama pelanggan, kalau tampilanku nggak rapih.” tukas Dian yang mengaku seorang penjahit.
“Widih, bisa berpenghasilan sendiri dong sekarang ini. Aku-nya diajarin dong!”
“Emang kamu sekarang sibuk apa Rin?”
“Ya beginilah, seorang kuli huruf dan angka. Aku nulis Dian, aku juga kerja dari rumah, tapi bedanya, kamu selalu ketemu orang, aku enggak, palingan kalau komunikasi sama pelanggan lewat HP. Kadang ditelpon, kadang WA biasa.”
“Aku punya kebiasaan aneh Dian, gara-gara jarang ketemu orang, aku mah nggak perduli sama penampilan. Palingan, kalau sedang fokus nguli, minta makanan ke emak, dan bertapa.” Rina sambil ketawa karena malu tubuhnya sekarang gemuk.
“Owalah, mangkanya kamu olahraga ya sekarang ini? biar kurusan?”
“Olahraga siang bolong gini, apa manfaatnya buat ngurusin badan? Nggak kok, tujuannya cuman buat cari inspirasi aja sih, lagian milih siangan, biar nggak ketemu orang-orang.”
Dian pun semakin bingung, ia heran, kenapa ada orang yang macamnya kayak Rina ini ya. Udah bertubuh gemuk, tapi olahraga di siang bolong.
“Ya sudah, ayo jalan-jalan ke butik ku aja Rin. Hitung-hitung kita terlanjur ketemu, kan!”
“Ayo.”
Sepuluh menit kemudian.
Dua orang perempuan yang baru saja turun dari sepeda ontel ini, mendarat dengan baik. Di hadapannya, ada sebuah toko baju yang amat besar. Rapih, dan asri. Ada bunga-bunga yang menyertainya di depan toko.
“Ini punyamu sendiri Dian?” Tanya Rina.
“Yups, ini hasil jerih payahku Rin, dari menjahit.”
“Aku kapan ya bisa punya usaha sendiri.” Rina membalas kata Dian, sambil mengelus tembok toko (sebenarnya ia juga berdoa supaya bisa cepat punya usaha)
“Ya sudah, ayo kita masuk. Nguli kamu, rajinin dong, hehe, oh iya, celeng-celeng gitu, biar ada tabungan.”
“Enggak ah, aku masih sendiri Dian, mending buat orangtua. Kamu udah nikah kan?”
“Ya belum lah, kan kamu belum terima undangan, masak aku ninggalin kamu masuk data sahabat akuhhhh”
Dian menepuk pundak Rina, dan keduanya saling tersenyum.
“Gini aja Rin, kamu pikir-pikir dulu, aku juga dulu lama banget kok ngumpulin uang, kan sejak SMA sudah buka jasa jahit dan permak. Kamu yang rajin nulis, dan belajar cara bikin usaha, khususnya di dunia nulis aja, biar kamu bisa srek.”
“Oh iya ya, masak aku ndak bisa kayak kamu, yang semakin cantik dan kaya. Apalagi, jasa nulis itu, mudah kok sebenarnya, asal ada tim yang solid. Yaudah deh, terimakasih ya idenya.”
Keduanya akhirnya pulang ke rumah masing-masing, dan mendapat pelajaran berharga, bahwa kalau ingin mapan, ada waktunya, asal mau usaha. Masak pikirannya Cuma ingin jadi kuli aja ya guys, eman-eman ting.
Walah dah dipenghujung tulisan nih. Mau karyanya dipajang kayak punya orang sebelah? Coba klik ini, Cerpen Tentang Bulan. Dia nulis tapi masih atas nama karyanya.
Lumayan kan misal sekalian sama fotonya aku pajang. 🙂
Posting Komentar untuk "Sahabat di Ujung Gang"